Karakteristik Tanah Gambut

Posted: February 23, 2012 in TULISAN

3.1. Karakteristik fisik

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk

pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban

(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik

(irriversible drying).

 

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya

(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali

bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu

mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang tinggi

menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan

bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut

lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat

dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD

lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa

memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.

 

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga

terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,

subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun

pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada

tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan

gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar

tanaman yang menggantung (Gambar 4).

 

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga

beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya

peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa

menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti

karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh (Gambar 5).

Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani

untuk memanen sawit.

 

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut

yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa

menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan

kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam

keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi

panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit

dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran

lahan bisa meluas tidak terkendali.

 


Gambar 3. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.

 


Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut

menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).

 


Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya

menahan beban tanah gambut.

 

3.2. Karakteristik kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh

kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan

tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya

kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari

senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah

senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan

senyawa lainnya.

 

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi

dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa

di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987;

Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera

Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et

al., 2004).

 

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai

kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada

gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin

rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di

sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan

basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan

bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai

nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan

Widjaja-Adhi, 1976).

 

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya

adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila

pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi

hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK

menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang

tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH

aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan

kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan

(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak

membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

 

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena

kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik

yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut

merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk

menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan

sifat kimia gambut.

 

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat

dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation

polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan

koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh

karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa

dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,

1996).

 

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat

cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain

itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk

yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut

dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk

mikro.

 

Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan

lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim

sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo, 1976).

Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai

menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam

fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan

pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995).

 

Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan

lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara

sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis

(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang

bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat,

p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.

 

Sumber : Agus, Fahmuddin & I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk

Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan

Perngembangan Pertanian.

Comments
  1. thanks for information

Kasih Comentnya Dong ...!!!!