3.1. Karakteristik fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk
pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban
(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya
(Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu
mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 3). Kadar air yang tinggi
menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan
bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut
lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD
lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa
memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga
terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada
tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan
gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar
tanaman yang menggantung (Gambar 4).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga
beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya
peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa
menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti
karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh (Gambar 5).
Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani
untuk memanen sawit.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan
kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam
keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi
panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit
dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran
lahan bisa meluas tidak terkendali.
Gambar 3. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.
Gambar 4. Akar yang menggantung pada tanaman yang tumbuh di lahan gambut
menandakan sudah terjadinya subsiden (penurunan permukaan).
Gambar 5. Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya daya
menahan beban tanah gambut.
3.2. Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan
tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya
kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi
dengan kisaran pH 3 – 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa
di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987;
Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et
al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai
kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada
gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin
rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di
sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan
basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan
bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai
nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan
Widjaja-Adhi, 1976).
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya
adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila
pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang
tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH
aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan
kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan
(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak
membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh
karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa
dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih,
1996).
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat
cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain
itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk
yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut
dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk
mikro.
Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan
lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim
sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan (Driessen dan Suhardjo, 1976).
Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam
fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995).
Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan
lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang
bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat,
p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.
Sumber : Agus, Fahmuddin & I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan
Perngembangan Pertanian.
thanks for information